6 Jun 2011

Kisah Semangat Hidup Agustina Parigade


 Seumur hidupnya boleh dikata  tak pernah merasakan sehat bugar seperti yang orang lain rasakan, ia adalah Agustina Parigade kelahiran Palu, 12 Agustus 1982. Sejak lahir ia menderita penyakit yang tak kunjung sembuh, penyakitnya pun tak pernah jelas dalam satu kata, komplikasi mungkin lebih cocok tuk disebutkan. Disebabkan sakit yang ia derita, tubuh agustina pun tercekik dengan perasaan haru hingga ia memiliki postur tubuh yang dekil oleh waktu.
Untunglah masih ada Ayah, Ibu dan Saudara Agustina yang selalu memberikan semangat hidup hingga ia bisa tersenyum dalam penderitaan. Hidup Agustina hanya bisa dihabiskan di rumah dan di rumah sakit, sebab dalam waktu setahun Agustina bisa masuk rumah sakit sampai tiga kali dan dalam jangka berbulan-bulan untuk sebuah kata sehat. Sampai ia berusia dewasa Agustina tetap dalam kondisi lemah disebabkan sakit yang ia derita, ia sempat sekolah tapi tak sanggup tuk meniti jalan panjang jenjang pendidikan hingga  hidupnya harus memvonis tuk putus sekolah, sudah tentu sedih dan pedih  yang ia alami bukan sekedar cerita atau dongeng kisah bawang putih dan cinderela, tapi sedih dan pedihnya adalah kepedihan hidup seorang Agustina Parigade.
Satu ketika ia jatuh sakit lagi dan kali ini Dokter berani memvonis ia dengan gagal ginjal, dengan segala keterbatasan ia harus di rujuk ke RS.Makassar  untuk menjalani operasi, apalah daya tangan tak sampai biaya operasi terlampau tinggi tuk ukuran keluarga sederhana. Satu hal yang bisa dilakukan saat itu hanyalah tawaqal kepada Allah SWT. Semoga keajaiban Rahmat-Nya kan datang disaat kata pasrah sudah terlontar dari semua bibir yang hampir pucat. Ia pun kembali ke Kota Palu dengan harapan penuh dengan kesehatan.
Satu hal yang pantas tuk dikagumi buat Agustina, ia tak pernah mengeluh dengan apa yang ia derita seumur hidupnya, bahkan ia tak pernah merasa bahwa ia adalah penderita sebuah penyakit, semangat hidupnya bahkan sudah melebihi kemampuannya berdiri, hingga semua orang kan merasa haru dikala ia tersenyum dan tertawa bahkan sampai melihatkan gigi grahamnya, semua orang kan bertanya apakah ia merasakan sakitnya ?.... apakah ia merasa sedih dan pedih ?.... atau pernahkah ia menangis di kesunyian malam meratapi hidupnya ?.... semua itu bahkan tak pernah terlintas dibenaknya, ia berjalan layaknya orang sehat berjalan, walau tampak perlahan tuk sebuah kata pasti dalam tekadnya, ia adalah pribadi yang sehat dalam keyakinan walau sakit dalam keseharian.
Disela-sela penderitaannya, seorang Ayah yang selalu memberikan layanan, perhatian penuh dan semangat baginya tiba-tiba jatuh sakit. Seperti sebongkah batu keras yang tersambar petir, hati Agustina kini dilanda kepedihan yang teriris disebabkan Ayah tercinta tlah lebih dulu di panggil sang Khaliq. Tangisnya adalah tangis semangat sang Ayah menyayanginya seumur hidup dalam penderitaan, terbetik dihati kita, ujian apa yang harus ia jalani berikutnya setelah Ayahnya meninggal ?... Allahu Ya Rabbi… Engkau Maha Pencipta Kehidupan Sandiwara ini…
Kini Ayahku tlah tiada, tinggal Ibu dan saudara-saudaraku yang semuanya adalah wanita, siapa yang akan menafkahi Ibu dan kami ?... Jika sakitku datang lagi, siapa yang akan menanggung biaya rumah sakit, sementara adik-adikku masih kecil dan belum tau arti kehidupan yang susah, aku harus bekerja untuk mendapatkan uang walaupun hanya sekedar tuk membantu beratnya tanggungan Ibuku. Siapa pun manusia itu, mendengar keluhan Agustina seperti ini pasti kan merasa haru dan meneteskan air mata, dikala ia lemah dalam kondisi tubuh, lemah jiwa dalam harunya ditinggal sang Ayah, ia masih berpikir tuk mendapatkan uang dari hasil keringat sendiri, entah untuk membantu Ibunya atau tuk persiapan dikala ia jatuh sakit. Agustina harus memutuskan tantangan hidup yang berat, ia pun mencoba mengajar anak-anak ngaji sekedar tuk mendapatkan imbalan gaji dan amal tuk bekal di akhirat kelak, sebagai tambahan ia pun berani mengambil privat ngaji di rumah-rumah warga.
Hari demi hari ia lalui seperti tak ada kata letih, ia terus bekerja sampai satu saat ia jatuh sakit, tapi tekadnya untuk membantu Ibu, saudara-saudaranya dan dirinya mengalahkan rasa sakitnya, ia harus melawan kelemahan tubuhnya dengan semangat hidup,  ia pun tetap bekerja walaupun Ibunya, Kakaknya dan adik-adiknya sudah sering melarangnya untuk bekerja, ia tetap melangkah dengan sakit yang ia derita. Satu hari tubuhnya benar-benar letih dan tak bisa untuk beraktivitas seperti biasanya, ia pun terbaring lemah dan harus dirawat jalan atas anjuran Dokter yang menangani, sejak saat itu ia tak pernah lagi mengajar anak-anak ngaji atau privat rumahan seperti biasanya, tubuhnya sangat lemah dan harus terbaring berbulan-bulan di atas kasurnya.
Terlalu lama terbaring di tempat tidur membuatnya jenuh, hingga ia merindukan Ayahnya, saudara-saudara dekatnya, om dan tantenya, bahkan tak jarang ia menyebutkan rindu kepada murid-murid ngajinya, ia ingin mengajar seperti biasa tapi Ibu dan saudaranya sudah berlaku tegas terhadapanya, melihat kondisinya yang sudah sangat lemah dan tak mungkin lagi untuk bekerja. Hari demi hari tubuhnya semakin susut hingga tertinggal kulit membungkus tulang, tapi sekali lagi,  semangat hidupnya melebihi keinginannya untuk sehat, ia tetap semangat seperti biasa.
Melihat kondisi yang semakin kritis, hari kamis 02 juni 2011, pukul 16:00 Wita, Ibu dan saudara-saudaranya kemudian memutuskan untuk membawanya ke RS. Anutapura Palu, hasil pemeriksaan Dokter menyatakan Agustina membutuhkan darah 2 tau 3 kantung, esok paginya butuh 2 tau 3 kantung lagi, semuanya disediakan tuk kesembuhan Agustina, malamnya butuh 2 tau 3 kantung lagi, tapi seperti hal ghaib yang tak bisa dibaca logika, semua tranfusi darah tak membantu menguatkan kondisi tubuhnya yang semakin lemah, darah bahkan keluar kembali melalui mulut dan anus, ia pun meminta kepada Ibunya agar dibawa kembali ke rumahnya, tempat ia biasa berbaring menahan sakitnya. Minggu 05 Juni 2011 ia pun kembali ke rumahnya dengan kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Senin 06 Juni 2011 pukul 03:39 Wita, tiba-tiba suara getar HP yang tak berdering membangunkanku dari mimpi yang tak jelas maknanya, panggilan dari saudara tertua Agustina segera kutrima dan mengabarkan bahwa kondisi Agustina sekarat. Segera kubangun dari tidurku yang baru 9 menit kurebahkan di tempat tidurku yang berukuran 150 cm x 120 cm tepat di WS. 08 warnetku, suara burung gagak yang berteriak di tengah malam membuat bulu kudukku merinding, seakan sebuah kabar dari langit kan turun di depanku tentang suatu keghaiban Allah SWT. Setibanya di rumah Agustina, kududuk persis disebelah kanan lengannya, semua diam tanpa kata, yang terdengar hanya suara alunan ayat suci Al-Qur’an lewat ponsel dan desah Agustina yang sesekali tertekan sesekali terlepas. Mengabari semua kluarga sudah kulakukan, sembari kubacakan ayat-ayat suci disamping kirinya, azan subuh mulai terdengar pertanda malaikat penjaga kan tiba mengawasi. Usai shalat subuh kucoba rebahkan kembali tubuhku yang juga lelah dari aktivitas dunia, pukul 07:26 HPq kembali bergetar dengan sms KKq yang mengabarkan Agustina telah meninggal pukul 06:30 pagi.
Terucap sebait doa “Allahu Ya Rabb, betapa pedih jalur kehidupan yang kau takdirkan untuk Adikku, kumohon tempatkanlah ia bersama orang-orang yang sabar dalam penderitaan, amien Ya Rabb, Ya Rahman, Ya Rahim”

"Kisah ini adalah kisah kepedihan Adikku, selama 29 tahun bertahan dengan rasa sakit, semoga kisah ini bisa jadi satu inspirasi bagi kita semua, bahwa sepedih apapun penderitaan hidup, jangan pernah mengeluh kepada diri sendiri dan tetaplah semangat seperti Agustina yang tlah pergi"